Santo Fransiskus Assisi, Laudato Si, dan Piagam Milan
Penanaman Pohon oleh Pastor Stefanus Suwarno OSC, Suster Irene OSU, dan Team Animator Laudato Si KAJ di Kebon Stasi Santo Petrus Pasar Kemis Tangerang.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si menyebut bumi (earth) sebagai rumah kita bersama (our common home) dan menekankan kesadaran akan eksistensi planet. Perlu diketahui bahwa Ensiklik ini ditujukan untuk semua orang, bukan hanya untuk umat Katolik. Jika membaca Laudato Si, maka nampak bahwa Paus Fransiskus menyerap gagasan Canticle of the Sun yang ditulis Santo Fransiskus Assisi. Santo Fransiskus menulis karya tersebut pada 1224 dan dimaksudkan untuk memuji Allah Pencipta dalam bentuk nyanyian pujian (hymn of praise). Dalam nyanyian pujian tersebut, Santo Fransiskus menyebut bumi sebagai ibu (mother) yang memberi makan dan menghasilkan berbagai macam buah serta tumbuhan.
Suster Irene OSU (teram Animator Laudato Si KAJ dan Pastor Stefanus Suwarno OSC menanam pohon di Krbon Stasi Santo Petrus Pasar Kemis Tangerang.
Menurut Paus Fransiskus, Santo Fransiskus adalah pribadi yang patut diteladani dalam upaya merawat orang-orang yang rentan. Selain itu, cara hidup yang ditunjukkan Santo Fransiskus dapat dijadikan acuan untuk mengejawantahkan ekologi integral (integral ecology) dalam suasana sukacita otentik. Sehingga tidak mengherankan apabila banyak orang mengatakan bahwa tidak ada Paus lain yang berani memikul beban dan tantangan dengan menggunakan nama Santo Fransiskus Assisi. Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus mengkritik penyalahgunaan planet secara tidak bertanggungjawab. Paus Fransiskus menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia pada hakikatnya saling terhubung (connected).
Pertumbuhan dan perkembangan teknologi serta sains mendominasi alam dan mengakibatkan bencana yang tidak terbatas (boundless disaster). Insektisida dan pupuk industri telah mencemari sungai, danau, dan air minum. Pembangkit listrik tenaga nuklir menyebabkan timbunan limbah nuklir yang berbahaya. Pertanian industri yang mengedepankan rekayasa genetika membuat petani kecil gulung tikar (the small farmer out of business). Berhadapan dengan sejumlah persoalan tersebut, Paus Fransiskus mengajak ilmuwan, insinyur, pelobi, dan masyarakat menerapkan pendekatan integral dalam rangka membuat perencanaan lingkungan (environmental planning) serta mengatasi krisis ekologi.
Sebagaimana dipahami Paus Fransiskus, ekologi integral memuat berbagai macam aspek seperti lingkungan, pasar, politik, dan masyarakat. Ekologi integral memungkinkan menganalisis proses pengembangan, produksi, dan konsumsi dalam suatu ekosistem yang saling terkait. Misalnya, ketergantungan ekonomi (economic dependency) menyebabkan pemanasan global dan naiknya permukaan laut. Selain itu, perusahaan dan industri yang menghasilkan aneka produk serta merek untuk memenuhi tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi mengakibatkan masifnya budaya membuang dan besarnya jumlah sampah.
Realitas memperlihatkan bahwa sampah plastik terserak dan mengambang di laut, danau, dan sungai. Paus Fransiskus dalam Laudato Si memberikan pemahaman bahwa alam (nature) tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus belajar mengaktualisasikan semangat ekologi sehari-hari (daily ecology) seperti etika tanggung jawab pribadi, solidaritas, dan ketenangan hati. Ekologi sehari-hari juga dapat digunakan untuk melawan pendekatan utilitarian yang dominan dan alam pikiran antroposentris yang picik.
Ekologi sehari-hari terkait dengan gaya hidup ekologis baru (new ecological lifestyle), mengedepankan semangat hidup komunitarian dan tidak egois. Karena eksistensi bumi sejatinya mendahului keberadaan manusia. Sehingga manusia mempunyai tugas besar, yaitu menghormati dan melestarikan bumi. Tindakan tersebut dilakukan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang (generations who will come). Harus diakui bahwa setiap spesies yang ada di bumi mempunyai hak mendapatkan perlindungan. Ketika berhadapan dengan aneka spesies, pertama-tama manusia tidak boleh memandangnya sebagi sesuatu yang mendatangkan manfaat (useful), tetapi menjunjung tinggi eksistensi mereka.
Ketika menjalani kehidupan di tengah dunia, Paus Fransiskus mengajarkan prinsip kerja sama (cooperation), bukan persaingan (competition). Kerja sama dimungkinkan apabila setiap manusia melakukan perubahan hati (change of heart), meninggalkan budaya individualis. Kerja sama juga dimaksudkan untuk mengatasi polusi udara dan air, menggunakan transportasi umum, kebiasaan makan yang bertanggung jawab, dan menerapkan gaya hidup yang lebih sadar. Melihat realitas secara jujur di mana bumi yang adalah rumah kita bersama sedang mengalami kerusakan. Sehingga manusia harus senantiasa mempunyai harapan, mencari jalan keluar, dan menyelesaikan persoalan yang ada.
Sebagian besar pemimpin negara tidak memiliki visi dan kemauan memikul tanggung jawab atas kesehatan planet (planet’s health) di tingkat nasional serta internasional. Oleh karena itu, Laudato Si meminta para pemimpin untuk bangun sebelum terlambat (to wake up before it is too late). Para pemimpin harus sadar bahwa dewasa ini terjadi pengurangan radikal keanekaragaman hayati, menipisnya sumber daya alam, ketergantungan pada bahan bakar fosil, kekurangan air minum, penggurunan, ribuan spesies punah, pemanasan iklim, dan pencemaran lingkungan.
Motif keuntungan dan kepentingan ekonomi mengalahkan kesadaran akan pentingnya kesejahteraan serta kebaikan bersama. Selain itu, dalam rangka mengatasi krisis ekologi, pemerintah dan masyarakat pada umumnya terlalu percaya serta cenderung mengandalkan sains dan teknologi. Bahkan mereka kurang menjelajahi geografi marjinal kaum miskin (the marginal geographies of the poor) yang memungkinkan menemukan bukti situasi dan kondisi hidup orang-orang miskin yang memprihatinkan. Karena kerusakan planet sangat berdampak terutama terhadap orang-orang miskin. Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus juga menyoroti persoalan pengangguran, kekurangan gizi, dan pendidikan.
Berdasarkan tradisi Yahudi-Kristen, eksistensi dunia dimungkinkan oleh Allah. Hal ini diartikulasikan secara tepat oleh Santo Fransiskus dalam Canticle of the Sun. Visi penciptaan tersebut pada dasarnya sama dengan keyakinan masyarakat adat (indigenous peoples). Menurut masyarakat adat, tanah bukanlah komoditas (commodity), melainkan hadiah dari Allah dan leluhur mereka. Sehingga bumi dipandang sebagai ruang sakral (sacred space) untuk membangun komunikasi dengan para leluhur dan mempertahankan identitas serta nilai dan makna hidup yang mereka pegang teguh.
Ketika bumi diyakini sebagai rumah kita bersama dan segala sesuatu yang ada di dunia saling terhubung, maka nilai-nilai komunitas, solidaritas, dan penghormatan terhadap hak serta martabat orang lain menjadi sesuatu yang terpenting (paramount). Terkait hal ini, Piagam Milan (Milan Charter) selaras dengan fokus ekologi Laudato Si. Dalam Piagam Milan ditegaskan bahwa melindungi masa depan planet dan hak generasi mendatang merupakan tantangan pembangunan abad XXI. Oleh karena itu, penting untuk memahami relasi antara kelestarian lingkungan dan keadilan di antara warga planet (citizens of the planet) masa kini serta masa mendatang. Bahkan Piagam Milan menganggap kurangnya akses ke makanan, air bersih, dan energi sebagai pelanggaran martabat manusia (human dignity).
Piagam Milan menegaskan supaya sumber daya planet (the planet resources) dikelola dengan cara yang adil, rasional, dan efisien. Tidak mengeksploitasinya untuk kepentingan sebagian orang dan mengorbankan yang lainnya. Piagam Milan juga meminta masyarakat menyadari bahwa dewasa ini terjadi kekurangan sumber daya air dan kelaparan, perlunya praktik pertanian berkelanjutan, dan peran perempuan dalam produksi pertanian. Selain itu, Piagam Milan mengecam proses deforestasi dan eksploitasi sumber daya laut yang mengakibatkan kesengsaraan planet (the planet’s woes).
Piagam Milan meminta masyarakat untuk memikirkan generasi yang akan datang. Hal ini dimungkinkan apabila mereka mau menjadi penjaga bumi (guardians of the earth). Berkomitmen pada gaya hidup yang melibatkan kesadaran akan apa yang dimakan, dari mana makanan tersebut berasal, dan bagaimana makanan itu diproduksi. Gaya hidup tersebut dalam Laudato Si disebut sebagai ekologi sehari-hari. Akhirnya, terdapat berbagai macam tindakan yang dapat dilakukan sebagai warga planet untuk mengatasi aneka persoalan lingkungan dan memungkinkan terejawantahnya keutuhan ciptaan.
Penulis : Yohanes Wahyu Prasetyo OFM
Sumber Foto : Team Sie Kom dan Internet.
Komentar
Posting Komentar